SamLakKau – Pemohon kasasi yang beragama non muslim diberi bagian dari harta warisan dalam bentuk wasiat wajibah sebesar 1/4 dari harta peninggalan pewaris. Mayoritas ahli hukum berpandangan wasiat wajibah boleh diberikan kepada non muslim untuk mewujudkan keadilan bagi semua pihak.
Setiap pasangan hidup pasti mendambakan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Harapan itu pula yang diinginkan pasangan AN (istri) dan VS (suami) ketika menjalani prosesi pernikahan Senin (6/12/1999) silam. Pernikahan yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pesanggrahan Jakarta Selatan itu terpaksa berakhir pada saat AN menghembuskan nafas terakhirnya karena sakit, Senin (26/08/2008) di Guangzhou Tiongkok.
Dalam mengarungi biduk rumah tangga selama 9 tahun, sejoli itu tidak dikaruniai anak. Orang tua AN pun telah lebih dulu meninggal. Setelah pujaan hatinya itu pergi selamanya, VS kembali menjalani keyakinan sebagai nasrani/kristiani.
Keputusan VS kembali memeluk nasrani/kristiani sebagai akidahnya ternyata menimbulkan persoalan bagi keluarga almarhumah AN. Kelima saudara kandung AN yakni ARN, IN, HAN, IRN dan HARN merasa lebih berhak sebagai ahli waris ketimbang VS.
“Tergugat telah berpindah akidah/kembali ke agama semula yaitu nasrani/kristiani sehingga oleh karenanya perbedaan agama menjadi penghalang bagi Tergugat untuk mendapatkan waris dari almarhumah,” begitu kutipan sebagian gugatan sebagaimana tercantum dalam salinan putusan perkara No. 2886/Pdt.G/2014/PA.Tgrs yang dibacakan, Kamis (20/10/2016).
Kelima saudara AN menggugat VS ke pengadilan agama (PA) Tigaraksa. Menuntut VS memecah dan membagi harta sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku termasuk waris yang didasarkan hukum Islam (faraidh). VR melalui jawabannya menyebut pernikahan berlangsung secara Kristen pada 7 Desember 1999.
Pernikahan di gereja Bethel Tabernakel itu telah dicatatkan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tangerang berdasarkan Akta Perkawinan tertanggal 27 April 2006. Menurut VS harta bersama yang dipersoalkan penggugat itu baru muncul setelah pernikahan 7 Desember 1999.
Oleh karena itu dia menyebut PA tidak berwenang mengadili perkara ini, tapi Pengadilan Negeri (PN). Pembagian waris harta bersama akibat dari pernikahan itu mengacu ketentuan KUHPerdata (BW), bukan hukum Islam. Singkatnya, VS mengklaim sebagai ahli waris tunggal dari almarhumah AN.
Dari kesaksian bibi almarhumah AN, ML menyebut pernikahan AN dan VS pada Desember 1999 berlangsung secara agama Islam. Begitu pula proses pemakaman AN di TPU Tanah Kusir diselenggarakan secara Islam.
Dalam proses persidangan majelis hakim menemukan bukti Akta Perkawinan tertanggal 27 April 2006 atas nama VS dengan AN tidak terdaftar pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tangerang. Akta perkawinan itu ternyata palsu.
Dalam pertimbangan putusan, majelis hakim menyatakan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf (f) menyebut harta bersama adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Sesuai bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat di persidangan, majelis menilai terbukti secara hukum harta-harta peninggalan AN pada posita gugatan poin 8.1 sampai dengan 8.7 merupakan harta bersama antara VS dengan AN
Terhadap harta bersama tersebut, VS sebagai tergugat berhak ½ (setengah) bagian, dan AN berhak mendapat ½ (setengah) bagian. Kemudian ½ (setengah) bagian yang menjadi hak AN merupakan harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli warisnya yang berhak.
Untuk harta yang terbukti bawaan/pribadi yang kemudian menjadi harta warisan dari AN, majelis berpendapat yang berhak menerima adalah ahli waris. VS sebagai suami yang kembali memeluk Kristen sesuai ketentuan Pasal 171 huruf c yang menyatakan “Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris“, maka tergugat tidak berhak terhadap harta warisan AN.
Dalam amar putusan bernomor 2886/Pdt.G/2014/PA.Tgrs itu majelis hakim menyebut antara lain mengabulkan sebagian gugatan ARN dkk. Serta menyatakan para penggugat itu sebagai ahli waris almarhum AN.
Menetapkan VS berhak mendapat ½ (setengah) bagian dari harta bersama tersebut pada diktum poin 3, dan Anita Nasution berhak ½ (setengah) bagian dari harta bersama tersebut. Menghukum VS untuk menyerahkan ½ (setengah) dari bagian harta bersama dan ditambah dengan harta bawaan/pribadi AN kepada kelima saudara kandungnya sebagai penggugat.
Penerapan wasiat wajibah
Perkara tak berhenti sampai disini, karena berlanjut ke Pengadilan Tinggi Agama Banten dan diputus melalui putusan bernomor 78/Pdt.G/2017/PTA.Btn tertanggal 21 Agustus 2017. Tak puas dengan hasil putusan tingkat pertama dan banding, VS mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung (MA).
Tuntutannya dalam pokok perkara antara lain meminta majelis hakim menyatakan Victor sebagai ahli waris tunggal atas seluruh harta peninggalan mendiang istrinya, AN. Termasuk harta bersama dari hasil perkawinan, dan harta bawaan/pribadi baik yang bergerak dan tak bergerak.
Majelis hakim kasasi yang dipimpin H Purwosusilo dengan anggota H Edi Riadi dan H Yasardin, menyatakan alasan-alasan kasasi yang menyebut judex facti salah menerapkan hukum, tidak dapat dibenarkan karena putusan dan pertimbangan judex facti sudah tepat dan benar.
Tapi majelis hakim kasasi berpendapat amar putusan judex facti/Pengadilan Tinggi Agama Banten yang memperbaiki putusan PA Tigaraksa harus diperbaiki sepanjang mengenai hak pemohon kasasi sebagai duda dari pewaris terhadap harta warisan.
Berbagai hal yang jadi pertimbangan judex juris antara lain hubungan antara pemohon kasasi dengan pewaris semasa hidupnya yang cukup baik dan harmonis. Bahkan pemohon kasasi telah mendampingi pewaris selaku istri dalam suka maupun duka. Pada saat pewaris sakit, pemohon kasasi tetap merawat pewaris dengan setia dan selalu mendampingi sampai berobat ke Tiongkok.
“Maka sepantasnya pemohon kasasi yang beragama non muslim diberi bagian dari harta warisan dalam bentuk wasiat wajibah sebesar 1/4 (seperempat) dari harta peninggalan pewaris,” begitu sebagian kutipan pertimbangan majelis hakim kasasi dalam perkara nomor 331.K/Ag/2018 itu.
Melalui putusan kasasi ini VS mendapat bagian seperdua atau 50 persen dari harta bersama, seperempat dari harta peninggalan pewaris. Sehingga dari harta bersama VS mendapat 50 persen ditambah wasiat wajibah (¼ x 50 persen= 12,5 persen dari harta peninggalan pewaris berupa harta bersama).
Alhasil, berjumlah 62,5 persen dari harta bersama dan mendapat wasiat wajibah seperempat bagian atau 25 persen dari harta peninggalan yang berupa harta bawaan pewaris. Sisanya 37,5 persen dari harta bersama dan 75 persen dari harta bawaan pewaris dibagikan kepada ahli warisnya.
Nah ternyata, wasiat wajibah dapat diberikan kepada ahli waris beda agama. Setidaknya terdapat sejumlah putusan MA yang memberikan hak wasiat wajibah. Sebut saja putusan MA Nomor 368 K/AG/1995. Kemudian putusan MA Nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999. Serta putusan MA Nomor 16 K/AG/2010. Tiga putusan MA tersebut setidaknya memberikan ruang wasiat wajibah pada keluarga atau ahli waris yang berbeda agama.
Putusan progresif
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Syaifuddin Zuhdi, mengatakan Kompilasi Hukum Islam dan Al-Quran pada dasarnya mengatur tidak boleh saling mewarisi antar beda agama.
“Ketika dia ada perbedaan agama pewaris dengan ahli waris keduanya tidak dapat saling mewarisi,” ujarnya dikonfirmasi, Selasa (25/03/2025).
Sekalipun tidak boleh saling mewarisi, tapi bukan berarti dilarang saling menerima harta. Syaifuddin mengatakan bisa saja pewaris sebelum meninggal memberi hibah atau hadiah kepada pihak yang berbeda agama.
“Tidak ada yang melarang untuk memberikan hadiah kepada non muslim,” urainya.
Ketika menghadapi masalah yang ujungnya litigasi sehingga diperiksa pengadilan agama, arahnya harus dilihat pada pertimbangan hakim. Apakah ada bukti yang memperkuat sumbangsih dari ahli waris kepada pewaris sehingga dapat dipertimbangkan majelis hakim.
Misalnya, dalam kasus orang tua dan anak yang beda agama. Anak yang beragama non muslim merawat orang tuanya sampai tutup usia, hal ini bisa dipertimbangkan hakim untuk memberikan wasiat wajibah kepada anak tersebut.
“Wasiat wajibah itu wasiat yang dikeluarkan oleh pengadilan berkaitan dengan ahli waris atau seseorang itu berhak mendapat harta waris,” papar Syaifuddin.
Syaifuddin menghitung ahli waris non muslim bisa diberikan harta waris melalui wasiat wajibah maksimal 1/3 bagian. Dalam perkara kasasi nomor 331.K/Ag/2018 majelis hakim memberikan wasiat wajibah sebesar ¼ bagian untuk VS yang merupakan duda dari almarhum AN.
Praktiknya, hakim akan mempertimbangkan asas keadilan dan kemaslahatan bagi para pihak. Wasiat wajibah menurut Syaifuddin dibenarkan dalam norma hukum KHI. Wasiat ini umumnya diberikan kepada anak angkat untuk mendapat warisan maksimal sepertiga bagian. Wasiat wajibah yang diberikan untuk non muslim merupakan terobosan.
“Hukum progresif hakim untuk memunculkan kemaslahatan dan keadilan bagi para pihak,” paparnya.
Menurut Syaifuddin hukum harus luwes melihat situasi yang dihadapi. Walau diakui praktik wasiat wajibah memunculkan berbagai pandangan para ahli hukum. Sebagian ahli hukum menilai wasiat wajibah tidak bisa untuk ahli waris beda agama, hanya khusus bagi anak angkat dan lainnya. Tapi mayoritas berpandangan wasiat wajibah boleh diberikan kepada non muslim untuk mewujudkan keadilan bagi semua pihak.
Nah, keberadaan Pasal 209 KHI tentang wasiat wajibah sejatinya menjadi sebuah pemikiran yang bercirikan Indonesia. Ternyata keberadaan Pasal 209, KHI melahirkan hukum baru yang selama ini tidak dikenal dalam wacana fiqih. Pemberian wasiat wajibah sedianya menjadi jalan tengah yang ditempuh para ulama penyusun KHI diselaraskan dengan kompromi antara pemikiran fiqih dengan realitas di tengah masyarakat.
Hukum islam kontemporer
Sementara merujuk artikel berjudul ‘Wasiat Wajibah untuk Ahli Waris Beda Agama’ yang ditulis Analis Perkara Peradilan Pengadilan Agama Lamongan, Hanandya Naufi Fatca Shafira menyebut MA menerapkan hukum Islam kontemporer pasangan berbeda agama maupun orang tua berbeda dengan anak.
Oleh karenanya dianggap meninggalkan wasiat wajibah. Sejatinya wasiat sedemikian penting dalam kewarisan dalam hukum Islam. Tak saja saja diatur dalam Al-Quran dalam Surat Al Baqarah, tapi juga Surat An-Nisa ayat 11,12, dan 176. Sebagaimana tertuang dalam ayat-ayat dalam surat An-Nisa tersebut, kedudukan wasiat mestinya dirampungkan terlebih dulu sebelum pembagian harta waris dari pewaris kepada anak/duda/janda dan saudara-saudara pewaris
Sementara mantan Ketua Kamar Agama MA, Andi Syamsu Alam dalam artikel Hukumonline berjudul “Hak Waris pada Keluarga Beda Agama Masih Diperdebatkan”, pernah mengatakan MA menerapkan hukum Islam kontemporer (pemikiran modern), apabila orang tua beragama berbeda dengan anak, maka dianggap meninggalkan wasiat (1/3 harta warisan, red) yang disebut sebagai wasiat wajibah.
“Kita bertolak dari KHI ada istilah wasiat wajibah. Kita tetapkan seperti itu dan itu sudah menjadi yurisprudensi. Secara eksplisit tidak tertulis dalam KHI. Hanya lembaga wasiat wajibah dipinjam untuk itu. Yang memutuskan ini pertama kali Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Ini sudah menjadi preseden, dikutip di seluruh Indonesia,” kata Andi pada November 2005 silam.
Menurut Andi, besaran wasiat wajibah tidak lebih dari 1/3 bagian. Sebelumnya, bagi orang tua dan anak yang berbeda agama tidak diperbolehkan memberi atau menerima harta waris.
Tapi berbeda dengan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. H.M Tahir Azhary, berpendapat perbedaan agama seharusnya menghalangi seseorang untuk mendapatkan hak waris. Demikian prinsip dalam hukum Islam yang sesuai hadits Nabi, tidak mewaris orang beriman dari orang yang tidak beriman, demikian pula sebaliknya.
Meski demikian, kata Tahir, orang tua (pewaris) saat masih hidup bisa memberikan hibah karena pemberian bisa dilakukan kepada siapa saja baik kepada muslim maupun nonmuslim. “Memang ada batasan, kalau hibah tidak boleh melampaui maksimal 1/3 dari jumlah harta yang ada,” ujarnya.