SamLakKau – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, fundamental ekonomi Indonesia tetap solid meskipun tengah dihadapkan pada ketidakpastian global yang semakin meningkat.
Menurutnya, hal ini tercermin dari berbagai indikator kunci seperti pertumbuhan ekonomi yang stabil di kisaran 5 persen, inflasi Maret 2025 yang terkendali di angka 1,03 persen (yoy), serta rasio kecukupan modal (CAR) perbankan yang mencapai 27 persen.
“Tadi sudah saya sampaikan bahwa DPK (Dana Pihak Ketiga) kita di atas 5 persen dan penyaluran kreditnya di atas 10,42 persen. Kemudian likuiditas perbankan terjaga, loan to deficit ratio-nya sudah juga di angka baik 88,92 persen dan juga kita lihat capital adequacy ratio-nya 27 persen. Sehingga sebetulnya perbankan kita solid dalam periode saat sekarang,” ujar Airlangga dalam acara Sarasehan Ekonomi bersama Presiden RI di Jakarta, Selasa.
Dalam paparannya, Airlangga menyoroti tekanan eksternal yang berasal dari meningkatnya tensi geopolitik global, proteksionisme dagang AS, hingga pengetatan kebijakan moneter oleh sejumlah negara maju.
Kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan AS menjadi pemicu tambahan yang dapat mengganggu stabilitas perdagangan dunia.
Pasca penyampaian kebijakan tarif resiprokal tersebut, sejumlah dampak timbul mulai dari gejolak pasar keuangan ekonomi global yang ditandai fluktuasi bursa saham dunia dan pelemahan mata uang, hingga terganggunya perdagangan dunia yang ditandai dengan terganggunya rantai pasok global.
Sebagai bentuk respons, Pemerintah Indonesia sendiri telah memutuskan untuk berbagai langkah strategis diantaranya melalui jalur negosiasi dengan mempertimbangkan AS sebagai mitra strategis.
Salah satu jalur negosiasi tersebut yakni melalui revitalisasi Perjanjian Kerjasama Perdagangan dan Investasi (TIFA).
Pemerintah juga akan melakukan Deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs) melalui relaksasi TKDN sektor teknologi informasi dari AS, serta evaluasi pelarangan dan pembatasan barang ekspor impor.
Di samping itu, Pemerintah juga akan melakukan penyeimbangan terhadap neraca perdagangan dengan AS melalui pembelian produk agrikultur dari AS seperti kedelai, pembelian peralatan mesin, LPG, LNG, dan migas oleh Pertamina.
Langkah selanjutnya, Pemerintah juga menyiapkan insentif fiskal atau non-fiskal, untuk mendorong impor dari AS dan menjaga daya saing ekspor ke AS.
Lebih lanjut, Menko Airlangga menjelaskan bahwa beberapa produk ekspor unggulan Indonesia seperti pakaian dan alas kaki yang memiliki berpeluang besar melakukan penetrasi pasar.
Sebab, Indonesja memiliki tarif lebih rendah dari beberapa negara peers seperti Vietnam (46 persen), Banglades (37 persen), dan Kamboja (49 persen).
Selain itu, Indonesia juga dinilai memiliki fleksibilitas yang lebih besar untuk menyeimbangkan Neraca Perdagangan dengan AS melalui peningkatan impor barang dari AS.
“Dengan surplus yang kecil dan ketergantungan yang rendah, Indonesia berada dalam posisi yang lebih aman dan strategis untuk memperkuat kerja sama dagang dengan AS,” ucap Airlangga.
Ke depan, berbagai kebijakan jangka menengah juga telah disiapkan Pemerintah mulai dari penciptaan lapangan kerja melalui penguatan industri padat karya, optimalisasi DHE SDA (devisa hasil ekspor sumber daya alam) dan implementasi kegiatan usaha bank emas, hingga membuka peluang pasar di 83 persen dalam perdagangan global.
Dalam kesempatan tersebut, Presiden Prabowo Subianto saat menyampaikan arahan juga menekankan bahwa meski kebijakan tarif tersebut menjadi tantangan bagi perekonomian, namun seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) terkait perlu bekerja sama untuk mengatasi dampak kebijakan tersebut.
Dirinya memandang negara-negara ekonomi yang terkuat membuat kebijakan-kebijakan memberi peningkatan tarif yang begitu tinggi kepada banyak negara ini bisa dikatakan menimbulkan ketidakpastian dunia.
“Saya bertahun-tahun saya sudah ingatkan mari kita bangun ekonomi kita dengan sasaran berdiri di atas kaki kita sendiri,” terang Presiden RI Prabowo Subianto.