SamLakKau – Per Senin, 7 April 2025, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS menyentuh angka Rp 17.200. Posisi ini menjadikan Rupiah sebagai mata uang terlemah di Asia Tenggara untuk April 2025.
Namun, pelemahan Rupiah ini dinilai bukan hanya akibat tekanan eksternal semata.
Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai anjloknya Rupiah memperlihatkan ketidaksiapan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah dalam membangun ketahanan ekonomi domestik yang kuat.
“Ini bukan sekadar persoalan eksternal, melainkan ketidaksiapan BI dan pemerintah dalam membangun ketahanan ekonomi domestik yang tahan banting. Ketika AS mengumumkan kebijakan tarif resiprokal pada 2 April, BI seharusnya langsung mengaktifkan segenap langkah antisipasi (protokol) depresiasi lebih dalam,” ujar Achmad kepada Disway, Senin 7 April 2025.
Achmad menilai langkah intervensi BI di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) setelah Rupiah terjun bebas hanyalah bentuk damage control yang terkesan berulang dan tidak efektif, bukan antisipasi yang matang.
Ia juga membandingkan dengan langkah cepat Bank Sentral Filipina (BSP) yang sejak Februari sudah memperkuat cadangan devisa melalui kontrak forward, menyusul ancaman tarif dagang dari Presiden AS Donald Trump.
“Alhasil, peso Filipina hanya terdepresiasi 6,8 persen pada periode 1 Februari–7 April 2025, sementara Rupiah merosot 13,2 persen di periode yang sama. BI baru bereaksi setelah depresiasi besar terjadi—bukti nyata ketidaksiapan,” tegas Achmad.
Meski begitu, Achmad menekankan bahwa kebijakan moneter adalah bidang yang kompleks dan setiap bank sentral memiliki pendekatannya masing-masing.
“Oleh karena itulah, ada pengambil kebijakan (policy makers) yang tepat (smart) dan ada juga yang tidak tepat. Itu semua diukur dari kinerja penurunan depresiasinya,” tutupnya.